wara-wiri

kalo oshin salah kata gitu. maafin aja yah. namanya juga masih kecil :P

Kamis, 13 Oktober 2011

Sebuah Pertemuan

Tidak ada yang namanya kebetulan. Kata kebetulan hanya sebuah pelarian dari semua kata yang paling cocok untuk menjelaskan ketidak sengajaan. Tapi aku gak percaya dengan kebetulan. Aku gak percaya kalau aku bisa menjadi seorang manusia itu karena kebetulan, aku gak percaya kalo aku bisa lahir dari perut mamah, tumbuh diantara keluarga kecil bahagia itu karena kebetulan, dan aku dilahirkan menjadi seorang perempuan bukan laki-laki itu karena kebetulan, dan untuk kali ini pun aku gak percaya kalau aku bertemu dengannya hanya karena kebetulan.
Dia seorang lelaki yang lahir dan hidup jauh dari lingkunganku, bahkan dari negeriku. Ia seperti makhluk asing yang datang dari dimensi yang berbeda. Tubuhnya tinggi besar, mungkin dua kali lipatnya tubuhku, kulitnya pun hitam, dan tatapan matanya pun tajam. Tapi ada satu hal yang tidak bisa ku lupakan, dan sepertinya itu memang salah satu dari sekian banyak daya tariknya, aku terpeseona senyumnya.
Aku bisa merasakan kebaikannya, saatku tahu bahwa memang senyumnya itu benar-benar tulus. Kenapa aku bisa tahu kalau senyumnya tulus? Entah lah, aku hanya dapat merasakannya, tanpa alasan apapun. Tapi ketika melihat gayanya berbicara dengan duduk tegap tanpa menyenderkan punggung, dan ketegasannya dalam berbicara namun menyampaikan kata-kata yang bermakna, aku makin yakin bahwa ia memang memiliki jiwa dan pribadi yang santun dan baik.
Ia bercerita tantang tanah kelahirannya, memang hal itu bukan hal yang baru buatku, karena aku sudah banyak dengar dari teman-teman di SMA, apa yang terjadi di sana dan sudah banyak pula cerita-cerita yang dilantunkan dari pujangga-pujangga lewat puisi-puisi atau cerpen-cerpen atau novel-novel yang beredar di publik. Bagiku, ini bukan berita baru, tapi menjadi kebanggaan sendiri saat aku bisa dengar langsung carita dari seseorang yang lahir dan tinggal di sana, bertahan, dan bahkan mampu menjalani profesinya dengan baik.
Semua cerita yang dilantunkannya membuatku sedih, secara keseluruhan aku memang tak begitu paham dengan apa yang ia bicarakan karena ia menggunakan bahasa inggris –untung ada penerjemahnya- tapi sedikit-sedikit aku paham apa yang ia bicarakan. Ternyata keadaan di sana memang tidak sebaik yang ada di sini, tapi yang membuatku takjub, banyak anak-anak yang lahir, tumbuh dan berkembang dengan sangat baik di sana, mereka tentu saja belajar, belajar dan terus belajar untuk meraih mimpi-mimpi mereka.
Saat itu tenggorokan ku tercekat, seperti aku menelan bongkahan batu berduri, perih dan menusuk. Apa yang terjadi di sana tidak lebih buruk dari keadaan di sini. Sebagai calon pendidik masa depan, aku berpikir bahwa boleh jadi negara kami tidak di jajah dengan tank-tank dan bom-bom di mana-mana, tapi negara kami tetap di jajah, penjajahan secara ekonomi dan ini lebih parah dampaknya dari pada penjajahan menggunakan fisik. Moral kami merosot seiring kapitalisme menelan kami bulat-bulat dengan perlahan.
Aku jadi berkaca, ternyata aku memang kecil, usahaku belum maksimal, dan aku tidak lebih baik dari siapapun saat aku tidak bisa menolong saudaraku sendiri. miris. Aku sedih. Kadang aku berpikir semunafik ini kah dunia fana yang ditawarkan oleh Tuhan. Terenguk begitu saja, seperti segelas air di tengah gurun, semua berlalu, menguap, dan hilang. Begitu saja. Aku tidak menyalahkan Tuhan. Tuhan tidak menciptakan kejahatan, seperti Ia menciptakan kebalikannya yaitu kebaikan. Tapi mengapa semua penjajahan ini harus terjadi? Atas nama siapapun di dunia ini, penjajahan harusnya dihapuskan karena tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan prikeadilan.
Aku jadi mau tak mau berimaji, membayangkan makhluk-makhluk itu lebih kejam daripada binatang. Sebiadap apapun binatang, masih menghormati kawanannya, dan tidak saling melukai jika milikknya tak diusik dan tak diakui oleh yang lain. Tapi memang mereka makhluk tak berjiwa manusia. Mereka bukan manusia. Bahkan binatang saja masih membinatangkan binatang.
Begitu murahkah sebuah nyawa yang ditawarkan? Hingga ribuan, jutaannya melayang tiap hari, tiap jam, tiap menit, tiap detik. Ahh... lagi-lagi itu hanya sekumpulan angka, angka-angka yang seperti tak pernah ada batasnya. Mungkin hanya Tuhan dan hari akhir yang dapat membatasi. Tapi aku yakin saat itu semua hak sudah ada di tangan yang berhak.
Namun yang lebih menusuk hati, bukan hanya tindakan kekejaman mereka saja, tapi aku yang tidak bisa berbuat apa-apa untuknya, untuk saudaraku yang dirampas haknya. Apakah hanya cukup mengenakan pin-pin kecil yang di tempel di kerudung, di jilbab, di tas, semua poster-poster, stiker-stiker kemanusiaan yang terpampang di kaca-kaca jendela, kaca-kaca mobil, di dinding-dinding itu sudah mengurangi semua penderitaannya, penderitaan mereka, padahal kami saudara bukan?
Aku tidak pernah memahami pemikiran para manusia setengah binatang itu, apa yang mereka cari, apa yang mereka mau, semua absrak dan tidak bisa deterima di dalam alam pikiranku. Semua pertanyaan tanpa jawaban berkecamuk di dalam sanubari. Kenapa mereka bisa berbuat seperti itu? Kenapa mereka begitu kejam, membunuh, merampas hak-hak orang lain, menjajah? Bukankah saat ini dunia tak lagi layak mendapatkan penjajahan? Lalu kenapa aku haya diam saja, tak melakukan apapun? Apa yang bisa ku lakukan untuk membantunya, membantu yang lain? Mengapa semua orang mengutuk tindakan manusia setengah binatang itu, tapi tidak ada yang berbuat banyak? Mengapa negara tetangga justru tidak memberikan bantuan apa-apa? Apa rencana Tuhan untuknya, untuk mereka yang berjuang demi hak-hak yang dirampas paksa?
AAAAAAAAAAARRRRRRRRRGGGGGGGGGGHHHHHHHH....
Seharusnya marah dan benci adalah kata tepat untuk menggambarkan hatinya yang rapuh, sama seperti hatiku, atau hati siapapun yang pernah dilukai. Untuk cintanya yang direngut paksa. Untuk semua yang pernah jadi kenyamanan dunia, tidak perlu yang lain hanya cinta itu yang dibutuhkannya. Tapi buka itu yang membuatnya marah, membuatnya miris, bukan masalah pribadinya, yang membuatnya marah saat ia melihat kenyataan bahwa banyak anak-anak yang seharusnya sekolah, namun terpaksa harus bekerja, unutk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tiba-tiba saja rasanya ribuan jarum dan silet mengiris tiap sendi dan daging-daging yang melekat dibalik kulitku.
Dengan senyumnya yang tak pernah luntur. Ia mengajariku untuk ikhlas. Tidak menggunakan teori dari siapapun. Ia jalani hidup dengan kemantapan hati, bahwa cintanya tak pernah mati.Al-Quran mengajariku tentang kepastian akan kembali kepada-Nya. Tidak memandang usia. Tidak memandang kedudukan, hartan benda, tidak juga dengan waktu dan keberadaan. Dan kita pasti akan kembali kepada-Nya. Dan saat itu kau berjanji atas nama cintamu untuk membawa bingkisan manis nan cantik dari dunia tantang kebenaran.
Lalu aku teringat ayah, mamah dan Dika. Lalu aku teringat dengan Utha, Nala, Isna, Aray, Landung, Picung, Nunu. Mungkinkah aku tegar, sama seperti nya? Ini bukan masalah kehilangan lalu terpuruk, terjelembab ke dalam lubang hitam keabadian, tapi cara kita bagaimana bangkit dari keterpurukan itu, bangkit dari lubang hitam keabadian dan melakukan perubahan nyata. Sekedar usaha dan doa pada Tuhan untuk semua pertolongannya, cinta kasihnya, kebenaran dan keadilan yang dijanjikan-Nya.
Bukan hanya sekedar tekat, bukan dari sekedar niat, tapi memang usaha pembuktian, bahwa memang kebenaran tak kan mati, biarpun setan-setan berusaha menelannya bulat-bulat, kebenaran bukan milik siapa-siapa tapi milik Tuhan, Tuhan semesta alam. Dan dia percaya. Yakin.
Seperti setitik debu aku berteriak dihamparan semesta alam
Hanya Tuhan yang mendengarkan
Tak kuasa aku menentang-Mu
Kendatipun Kau mengkhendaki
Semua pasti akan kembali
Kematian kehidupan sepeti sebongkah asap yang dapat hilang dan berlalu
Aku disini memohon
Dengan segala kerendahan hati
Dengan harapan tak pernah mati
Lindungilah semua hati yang mengandung “hati”
Rawatlah, jagalah, semua “hati”
Karena hanya hati dan Kau yang tahu semua pertanyaan ku ini
Getar yang ku dengar di telinga, getar kesedihan yang kau pendam, adalah sebuah kewajaran bahwa kau memang manusia tapi kau juga kuat. Aku tahu, jadi tak perlu berbohong. Semua kesedihan telah menguap, melebur menjadi harapan. Dari tanganmu lahir sebuah buku cengeng tetang elegi kisahmu. Aku tak akan baca bukumu, tak akan ku buka lembaran-lembaran hasil jari-jemari tangan mu. Maaf, aku tak mau menangisi kisah hidupmu yang sendu. Tapi aku ingin menyimpan kenangan bertemu dengan mu, kenangan wajahmu yang tegar, yang berani, yang tegap menghadapi semua takdir Tuhan, semua kenangan ketika bertemu denganmu adalah pelajaran bagiku, bagi semua manusia yang memanusiakan manusia, semua pelajaran untuk dunia, untuk ku.
Lalu aku ingat kata terakhirmu sebelum kita berpisah jauh, hingga aku tak yakin bisa bertemu denganmu lagi. Kata-katamu, yang menggugah hatiku “kita harus percaya bahwa kita bisa menggapai mimpi-mimpi kita. Terpuruk kedalam kesedihan tak akan menghasilkan apa-apa, sedangkan tenggelam dalam kemarahan hanya membuatmu tidak lebih baik dari mereka yang membuat mu marah. Jangan pernah kalah dengan rasa marahmu, dan ingat bahwa Alloh selalu memiliki rencana yang terbaik untuk semua makhlukk-Nya.”

Pernahkan kau rasakan nikmatnya bermain api?
Tapi pemenang akan selalu menjadi arang dan pecundang akan selalu jadi abu.


Senin, 10 Oktober 2011
Untuk dr. Abuelaish, Bizan dan adik-adiknya.
Untuk semua manusia yang punya hati.
Untuk semua saudaraku di Palestin sana.
Terimakasih.